Kerajaan Gowa pada abad 15 sampai 16 merupakan sebuah imperium kerajaan maritim yang memiliki wilayah yang sangat luas. Meliputi sebagian besar pulau Sulawesi, sebagian Kalimantan, sebagian Maluku, Nusa Tenggara, sampai di bagian selatan Filipina, serta sebelah utara benua Australia. Wilayah yang sangat luas ini dijangkau dan diekspansi menggunakan armada perang yang jumlahnya ratusan hingga ribuan. Dalam Lontara’ Bilang Kerajaan Gowa yang dikutip oleh Cummings (2000) dalam buku The Makassar Annals, saat Sultan Malikussaid Raja Gowa ke-15 akan memulai peperangan Kerajaan Bone pada tahun 1643, beliau diiringi kapal perang sebanyak 125 unit. Armada beliau berlayar ke arah Agangnionjo’ (Tanete) kemudian beriringan menuju ke daerah Pancana untuk bersiap menyerang Kerajaan Bone.
“Namanaung ri Agangnionjoq karaenga makkaruru asaraki nari Pancana biseanga niaganga pada-pada 125” – Entry Lontara Bilang Tanggal 8 Oktober 1634.
Sayangnya, wilayah Gowa terutama yang berbatasan langsung dengan laut mengalami penyusutan drastis pasca kekalahan Kerajaan Gowa atas VOC pada Perang Makassar tahun 1669 sampai peralihan sistem pemerintahan dari swapraja ke swatantra berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Gowa. Kemudian terbit pula Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971 Tentang Perluasan Ibukota Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara dan Penetapan Batas Wilayah Kotamadya Ujung Pandang, Kabupaten Gowa, Maros, dan Pangkep. Sehingga wilayah Barombong yang memiliki garis pantai, mesti dilepas untuk bergabung dengan wilayah Kota Ujung Pandang (Sekarang Makassar).
Dari fakta sejarah masa lalu tersebut kemudian dibandingkan kenyataan masa kini, ada kegelisahan para pemuda Kabupaten Gowa untuk “menemukan” garis pantai terakhir yang masih bertahan di dalam wilayah Kabupaten Gowa. Maka pada tanggal 12 Maret 2016, atas inisiasi dari komunitas Instagowa, Jalan-Jalan Seru Gowa, dan My Trip My Adventure Gowa telah dilaksanakan open trip untuk mengeksplorasi pantai terakhir kabupaten Gowa ini. Menurut Wahyudin Mas’ud, salah seorang inisiator kegiatan tersebut, bahwa kondisi pantai ini sudah sangat terancam dari potensi abrasi. Sehingga diharapkan ada perhatian dari Pemerintah Kabupaten Gowa khususnya dinas terkait. Pada kesempatan eksplorasi tersebut juga dilakukan pengambilan gambar aerial untuk merekam pemandangan pantai tersebut dari perspektif aerial.
Garis pantai terakhir yang dimiliki kabupaten Gowa ini hanya memiliki panjang kurang dari 1 kilometer saja. Secara administratif, lokasi pantai ini dihimpit dan dikepung oleh wilayah kabupaten Takalar. Di sebelah utara berbatasan dengan desa Mangindara, kec. Galesong Selatan. Di sebelah selatan dan barat berbatasan dengan desa Lagaruda, kec. Sanrobone.
Menurut penuturan warga setempat, dahulunya pantai ini jauh menjorok ke depan dan lebarnya mendekati 1 kilometer. Tapi abrasi pantai telah mengubah kondisi wilayah ini. Walaupun di lokasi ini kita masih bisa menemukan pohon bakau, tapi karena jumlahnya tidak seberapa lagi, menyebabkan abrasi tak terbendung. Di dusun ini masih ada dijumpai warga yang berprofesi sebagai nelayan. Beberapa meter di belakang pantai ini terdapat tempat pelelangan ikan dan tempat bersandarnya kapal-kapal tradisional.
Lokasi: Pantai Mangngesu, dusun Pammandongang, desa Salajangki, kecamatan Bontonompo Selatan.
Titik di Google Maps bisa diklik di sini.
One Comment