
Sultan Alauddin: Raja Gowa yang Membuka Pintu Islam di Timur Nusantara
Kalau kamu berkunjung ke Makassar dan mendengar nama Sultan Alauddin, mungkin yang terlintas di benakmu adalah nama jalan besar yang sibuk di pusat kota. Tapi di balik nama itu, tersimpan kisah luar biasa tentang seorang raja muda yang mengubah arah sejarah Gowa — dan menjadi tokoh penting dalam penyebaran Islam di Indonesia Timur.
Anak Raja yang Tumbuh Jadi Pemimpin
Sekitar akhir abad ke-16, di masa ketika kerajaan-kerajaan di Nusantara masih berjaya, lahirlah seorang anak bangsawan di Gowa bernama I Manngarangi. Ia bukan anak biasa — ayahnya adalah Tunijallo’, atau Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa, Raja Gowa ke-12 yang memerintah antara tahun 1565 hingga 1590. Ibunya adalah I Sambo Daeng Niasseng Karaeng Pattingaloang Raja/Ratu Tallo yang putri dari I Mappatakangkangtana Daeng Padulu Raja Tallo.
Sejak kecil, Manngarangi hidup di lingkungan istana yang penuh tradisi: upacara adat, musyawarah para bangsawan, dan hiruk-pikuk pelabuhan Makassar yang ramai disinggahi pedagang dari berbagai negeri. Dari situlah ia tumbuh mengenal dunia luas, melihat interaksi bangsa-bangsa, dan belajar memahami kekuasaan.
Ketika usianya baru 14 tahun, pada tahun 1593, ia dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-14. Meskipun masih sangat muda, jiwa kepemimpinannya sudah tampak kuat. Ia dikenal dengan nama kebangsawanannya I Daeng Manrabia, dan kelak setelah memeluk Islam, ia dikenal dengan nama yang akan abadi dalam sejarah: Sultan Alauddin.
Islam Sudah Dikenal Sebelum Sultan Alauddin
Sebelum kisah besar sang raja muda dimulai, pengaruh Islam sebenarnya sudah mulai menyentuh tanah Gowa. Sejak masa pemerintahan ayahnya, Tunijallo’, para pedagang Muslim dari Melayu dan Minangkabau telah bermukim di pelabuhan Makassar, membawa ajaran Islam melalui interaksi dagang dan sosial. Bahkan, sebuah masjid pertama sudah berdiri di Mangalaeng, menjadi bukti awal kehadiran Islam di wilayah Gowa sebelum akhirnya menjadi agama resmi kerajaan.
Namun, semua itu masih sebatas benih — hingga akhirnya muncul seorang raja muda bernama I Manngarangi, yang akan menjadikan Islam sebagai dasar pemerintahan dan arah peradaban baru.
Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Di masa pemerintahannya, Gowa dikenal sebagai kerajaan maritim yang kuat. Pelabuhannya terbuka untuk pedagang dari Melayu, Arab, India, hingga Eropa. Dari jalur perdagangan itulah, ajaran Islam perlahan masuk ke tanah Makassar.
Namun, kisah besar itu benar-benar dimulai ketika seorang ulama asal Minangkabau bernama Datuk ri Bandang datang ke Gowa. Ia bukan hanya seorang pendakwah, tapi juga pembawa perubahan besar. Dengan kelembutan dan kebijaksanaannya, Datuk ri Bandang berhasil mengajak sang raja muda untuk mengenal Islam lebih dalam.1Datuk ri Bandang adalah salah satu dari tiga ulama Minangkabau yang dikenal sebagai “Tiga Datuk” penyebar Islam di Sulawesi Selatan: Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk ri Pattimang
Dan pada 22 September 1605, di malam kesembilan bulan Jumadil Awal 1014 H, di bawah cahaya obor istana Kota Tanga, I Manngarangi mengucapkan dua kalimat syahadat. Sejak malam itu, ia resmi memeluk Islam dan bergelar Sultan Alauddin, Raja Gowa pertama yang masuk Islam.
Usianya baru 19 tahun, tapi tekadnya menjadikan Islam sebagai pedoman pemerintahan begitu kuat. Dan sejak saat itu, bukan hanya namanya yang berubah — arah sejarah Gowa pun berubah selamanya.
Gowa dan Tallo Menyatu di Bawah Cahaya Islam
Dua tahun setelah Sultan Alauddin memeluk Islam, tepatnya 9 November 1607, rakyat Gowa dan Tallo secara resmi mengikuti jejak sang raja. Sebagai tanda resminya Islam menjadi agama kerajaan, salat Jumat pertama dilaksanakan di Mesjid Tallo — sebuah peristiwa yang menandai babak baru dalam sejarah Nusantara bagian timur5.
Sejak saat itu, Islam bukan hanya sekadar agama, tapi juga dasar moral dan politik kerajaan. Gowa tumbuh menjadi pusat penyebaran Islam di Indonesia Timur, mengirim ulama dan guru-guru agama ke berbagai daerah, dari Buton hingga Ternate.
Dari istana Gowa, sinar Islam menyebar ke seluruh penjuru kepulauan, menjadikan kerajaan ini bukan hanya kuat secara militer dan ekonomi, tetapi juga berpengaruh secara spiritual dan intelektual.
Diplomasi dan Pandangan Hidup Seorang Raja
Sultan Alauddin dikenal bukan hanya karena religiusitasnya, tetapi juga karena pandangan hidupnya yang maju dan terbuka. Ia menolak keras sistem monopoli perdagangan yang dibawa bangsa Eropa, terutama Belanda dan Portugis. Baginya, “bumi ini milik bersama, sumber rezeki bagi semua bangsa.”
Dengan prinsip itu, ia membuka pelabuhan Makassar untuk semua pedagang, baik dari Asia maupun Eropa, tanpa membedakan asal usulnya. Kebijakan ini menjadikan Makassar sebagai salah satu pelabuhan internasional paling penting di abad ke-17, sekaligus menjadikan Kerajaan Gowa sebagai kerajaan maritim yang makmur dan disegani di Asia Tenggara.2Catatan Belanda abad ke-17 menggambarkan Makassar sebagai pelabuhan bebas yang menyaingi Malaka dalam aktivitas perdagangan internasional.
Dalam hal diplomasi, Sultan Alauddin juga menjalin hubungan baik dengan berbagai kerajaan besar di Asia Tenggara, seperti Mataram, Johor, Melaka, Pahang, Blambangan, Patani, Banjar, hingga Maluku. Ia ingin Gowa bukan hanya dikenal karena kekuatan militernya, tapi juga karena kebijaksanaan dan toleransinya.
Raja yang Lembut, Tapi Tegas
Meskipun dikenal bijak dan religius, Sultan Alauddin bukan pemimpin yang lemah. Ia adalah raja yang lembut dalam tutur, namun tegas dalam prinsip. Ia percaya bahwa seorang raja sejati harus menjadi pelindung rakyatnya, bukan penguasa yang menindas.
Kelembutannya membuatnya dicintai rakyat dan bangsawan. Ia tidak haus kekuasaan, tetapi berpegang pada nilai-nilai keadilan dan keseimbangan. Dalam banyak kisah, Sultan Alauddin digambarkan sebagai sosok yang bersahaja, penuh kasih, tapi juga memiliki keberanian moral untuk menentang penjajahan ekonomi oleh bangsa asing.
Kebijakan dan kebijaksanaannya menjadikan Gowa sebagai kerajaan yang stabil, damai, dan religius. Ia tidak hanya membangun kemakmuran ekonomi, tapi juga membangun peradaban spiritual yang berakar kuat di masyarakat.
Kehidupan Pribadi dan Keturunan
Sebagai raja besar, Sultan Alauddin memiliki banyak istri dari kalangan bangsawan Gowa, Bugis, hingga luar Sulawesi. Namun hanya beberapa di antaranya yang dikaruniai anak.
Salah satu yang paling dikenal adalah Karaeng ri Lakiung (I Mataina), ibu dari I Mannuntungi, yang kelak dikenal sebagai Sultan Malikussaid — penerus tahta Gowa dan ayah dari Sultan Hasanuddin, sang “Ayam Jantan dari Timur”.3Garis keturunan Sultan Alauddin melahirkan tokoh besar seperti Sultan Hasanuddin, pahlawan nasional Indonesia dari Gowa.
Melalui garis keturunannya inilah lahir dinasti besar Gowa yang terus memainkan peran penting dalam sejarah Makassar dan perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Akhir Hidup dan Warisan Abadi
Setelah memimpin selama 46 tahun, Sultan Alauddin wafat pada 15 Juni 1639, dalam usia 53 tahun, di kawasan Jongaya, Makassar. Sebelumnya, beliau sempat menderita sakit selama beberapa hari.
Kematian Sultan Alauddin terjadi dua tahun delapan bulan setelah wafatnya Karaeng Matoaya, paman sekaligus penasihat bijaknya. Wafatnya kedua tokoh besar ini menandai berakhirnya era keemasan Gowa yang damai dan berkeadilan.
Kepemimpinan kerajaan kemudian diteruskan oleh putranya, Sultan Malikussaid, yang kelak melahirkan pahlawan besar, Sultan Hasanuddin, simbol perlawanan terhadap penjajahan VOC di Tanah Makassar.
Jejak Islam yang Tak Terhapus dari Makassar
Perjalanan hidup Sultan Alauddin bukan sekadar kisah seorang raja yang berkuasa, tapi kisah seorang pemimpin yang membuka jalan peradaban baru di Indonesia Timur. Ia memadukan kekuasaan, kebijaksanaan, dan iman menjadi satu kekuatan besar yang mengubah sejarah.
Hingga kini, warisan Sultan Alauddin masih hidup — dalam nilai-nilai keislaman masyarakat Gowa, dalam semangat keterbukaan orang Makassar, dan dalam sejarah panjang penyebaran Islam di Nusantara.
Nama Sultan Alauddin diabadikan di mana-mana: pada jalan raya, universitas, dan masjid-masjid. Tapi lebih dari itu, ia hidup dalam ingatan sejarah — sebagai sosok yang menyalakan cahaya Islam di Timur Nusantara.
Dan mungkin tanpa kita sad ari, setiap kali kita melintasi Jalan Sultan Alauddin di Makassar, kita sedang menapak jejak seorang raja yang telah menerangi sejarah kita dengan cahaya iman, kebijaksanaan, dan keadilan.


