Sejarah

Syekh Yusuf Al-Makassari: Ulama, Sufi & Pahlawan Dua Negara

Nama Syekh Yusuf Al-Makassari dikenal luas, bukan hanya di Indonesia tetapi juga hingga ke Afrika Selatan. Ia dikenang sebagai seorang ulama besar, sufi yang arif, sekaligus pejuang kemerdekaan yang berjuang melawan penjajahan dengan dakwah dan keteguhan iman. Sosoknya menjadi teladan lintas generasi karena menyatukan spiritualitas, ilmu, dan perjuangan. Uniknya, Syekh Yusuf tercatat sebagai pahlawan nasional di dua negara — Indonesia dan Afrika Selatan.

Asal Usul dan Masa Muda

Syekh Yusuf lahir di Istana Tallo, Gowa, Sulawesi Selatan pada 3 Juli 1626 M (8 Syawal 1036 H) dengan nama Muhammad Yusuf. Dalam tradisi masyarakat Makassar, ia dikenal sebagai “Tuanta Salamaka” yang berarti tuan kita pembawa keselamatan.

Ia berasal dari kalangan bangsawan. Ayahnya, Abdullah Khidhir bergelar Tuanta Manjalawi, berasal dari wilayah selatan Gowa. Sementara ibunya, Aminah I Tubiani Daeng Kunjung, adalah putri Daengta Gallarang Moncong Loe. Dengan garis keturunan tersebut, Syekh Yusuf memiliki hubungan darah dengan keluarga kerajaan Gowa dan Tallo, termasuk Sultan Alauddin, Raja Gowa ke-14.

Meskipun dibesarkan di lingkungan istana, Syekh Yusuf tumbuh dengan kepribadian sederhana dan religius. Sejak usia tiga tahun ia sudah belajar mengaji dan khatam Al-Qur’an di bawah bimbingan Daeng Ri Tasammang, guru yang mengajarkannya tajwid dan qiraat dengan baik.

Perjalanan Menuntut Ilmu: Dari Gowa ke Dunia Islam

Kecintaan Syekh Yusuf pada ilmu membawanya keluar dari kampung halaman untuk menuntut ilmu ke berbagai daerah. Pada usia delapan tahun, ia berguru kepada As-Syekh Sayyid Baa Alwi Assegaf bin Abdullah Al-Allaamatuttahir Assegaf di Bontoala, seorang ulama besar yang pernah menjadi mufti di Mekkah dan Madinah. Di sinilah dasar keilmuan Islamnya semakin kuat.

Saat beranjak remaja, ia mendalami ilmu tasawuf kepada Syekh Jalaluddin Al-Aidid di Cikowang, Takalar. Dari gurunya ini, tumbuh tekad kuat untuk menimba ilmu di Tanah Suci. Dengan membawa surat pengantar dari sang guru, Syekh Yusuf berangkat menuju Mekkah dan Madinah. Namun sebelum sampai ke sana, ia singgah di Banten dan Aceh, dua pusat dakwah Islam yang juga menjadi benteng perlawanan terhadap penjajahan.

Menimba Ilmu di Aceh dan Timur Tengah

Di Aceh, Syekh Yusuf berguru kepada Syekh Nuruddin ar-Raniri, ulama terkemuka asal India yang juga dikenal sebagai penulis dan ahli tasawuf. Ia belajar selama empat tahun, memperdalam tarekat Qadiriyah serta prinsip kepemimpinan Islam. Setelah itu, perjalanan intelektualnya berlanjut ke Yaman, Syam (Suriah), dan Turki (Istanbul).

Selama di perantauan, Syekh Yusuf berguru kepada banyak tokoh spiritual ternama:

  • Di Yaman, ia mempelajari tarekat Ba‘lawiyah selama dua tahun.
  • Di Madinah, ia mendalami tarekat Sattariyah dari Syekh Ibrahim Hasan al-Kurdi.
  • Di Istanbul, ia menekuni tarekat Khalwatiyah di bawah bimbingan Syekh Abu al-Barakat Ayyub al-Khalwaty, dan memperoleh gelar Tajj al-Khalwatiy Hadiyatullah, yang berarti “Mahkota Khalwatiyah Hadiah dari Allah.”

Kecerdasan dan keluasan ilmunya membuat ia diakui di berbagai pusat keilmuan Islam. Ia memperoleh banyak ijazah dan sanad keilmuan dari para guru besar dunia Islam, menjadikannya jembatan intelektual antara Timur Tengah dan Nusantara.

Kembali ke Tanah Air dan Perlawanan Melawan Kolonialisme

Setelah bertahun-tahun menuntut ilmu, Syekh Yusuf kembali ke Nusantara dan segera terlibat dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Ia dikenal bukan hanya sebagai pendakwah, tetapi juga pejuang yang terjun langsung ke medan perang.

Di Banten, Syekh Yusuf bersekutu dengan Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan kekuasaan VOC. Semangat jihadnya, kecerdikan strategi, dan karisma keulamaannya menjadikannya tokoh penting dalam perlawanan tersebut. Namun, akibat pengkhianatan, Syekh Yusuf akhirnya tertangkap dan diasingkan — pertama ke Ceylon (Sri Lanka), lalu ke Cape Town, Afrika Selatan.

Dakwah di Tanah Pengasingan

Pembuangan tak membuat Syekh Yusuf berhenti berdakwah. Di pengasingan, ia justru semakin produktif menulis dan mengajar. Beberapa catatan sejarah menyebutkan, ia menulis lebih dari 30 karya tasawuf dan keislaman selama di Ceylon.

Pengaruhnya sangat besar, terutama di Afrika Selatan, di mana ia menjadi penyebar Islam pertama di Cape Town. Masyarakat setempat menjulukinya “Tuan Karamat” — yang berarti “orang suci yang dimuliakan”. Hingga kini, makamnya di Signal Hill menjadi tempat ziarah dan simbol perjuangan melawan ketidakadilan rasial.

Nilai dan Prinsip Hidup Syekh Yusuf

Meski berdarah bangsawan, Syekh Yusuf dikenal sangat rendah hati dan berpegang teguh pada prinsip keadilan.
Menurut sejarawan Prof. Dr. Anhar Gonggong, sebagaimana dilaporkan oleh beberapa media nasional, Syekh Yusuf adalah sosok yang “mencari makna hakiki dari kemerdekaan dan kemanusiaan.” Pandangan ini menegaskan bahwa perjuangannya tidak hanya melawan penjajahan fisik, tetapi juga penindasan moral dan spiritual.

Bagi Syekh Yusuf, kemerdekaan sejati adalah kebebasan jiwa dari penghambaan kepada selain Allah. Ia menanamkan nilai kejujuran, kesabaran, istiqamah, dan keberanian dalam setiap dakwah dan perjuangannya.

Beberapa pesan moral yang kerap disampaikan antara lain:

  • Menjaga kejujuran dalam ucapan dan tindakan.
  • Menjauhi kesombongan dan sifat angkuh.
  • Menyeimbangkan antara khauf (takut kepada Allah) dan raja’a (harap akan rahmat-Nya).

Perpaduan dua sikap spiritual ini melahirkan pribadi yang tegas terhadap kebatilan namun lembut terhadap sesama.

Pengakuan dari Dua Negara

Syekh Yusuf menjadi satu-satunya tokoh dari Nusantara yang mendapat pengakuan resmi sebagai pahlawan nasional dari dua negara:

  1. Pahlawan Nasional Indonesia
    Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 071/TK/1995 tanggal 7 Agustus 1995, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menegakkan nilai Islam.
  2. Pahlawan Nasional Afrika Selatan
    Pada 27 April 2005, pemerintah Afrika Selatan menganugerahkan penghargaan melalui Presiden O.R. Tambo atas “kontribusinya dalam perjuangan melawan kolonialisme dan rasisme.”
    Ia diakui sebagai inspirator gerakan anti-apartheid dan simbol perjuangan spiritual bagi masyarakat tertindas di Afrika Selatan.

Warisan Spiritual dan Perjuangan yang Tak Lekang Waktu

Warisan Syekh Yusuf tidak hanya berupa karya tulis dan tarekat, tetapi juga semangat juang dan spiritualitas yang dalam. Ia menunjukkan bahwa kekuatan iman dapat menjadi sumber perlawanan terhadap ketidakadilan.

Dari Gowa hingga Cape Town, jejak langkahnya mengajarkan bahwa Islam bukan sekadar ajaran ritual, tetapi juga pesan pembebasan dan kemanusiaan. Bagi Syekh Yusuf, kemerdekaan sejati lahir dari hati yang bebas dari hawa nafsu dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah.

Penutup

Syekh Yusuf Al-Makassari bukan hanya tokoh sejarah, tetapi juga simbol persatuan, keimanan, dan kemerdekaan sejati. Dari istana kerajaan hingga tanah pengasingan, ia tetap konsisten memperjuangkan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan universal.

Kisah hidupnya menjadi cermin bahwa sejauh apa pun seseorang diasingkan, cahaya kebenaran tidak akan pernah padam.
Warisannya tetap hidup — menginspirasi generasi baru untuk memperjuangkan kebebasan, bukan hanya dari penjajahan lahiriah, tetapi juga dari belenggu batin.

===

Sumber:
1.Buku Syeikh Yusuf Tuanta Salamaka Ulama Shufi, Pejuang Abad Ke 17 dan Pahlawan Nasional oleh Sahib Sultan.
2.http://maktabah.org/blog/?p=2989

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button