BeritaViral

Viral! Masjid Megah di Tengah Kebun Kopi , Kaki Lompobattang

Dari Tempat Keramat Menjadi Rumah Ibadah yang Menginspirasi

Masjid Megah di tengah Kebun Kopi, kaki Lompobatttang– Di balik lebatnya kebun kopi di kaki Gunung Lompobattang, Kabupaten Gowa, berdiri sebuah masjid megah yang punya kisah spiritual mendalam. Masjid  berwarna kuning keemasan dicampur warna putih dengan pilar-pilarnya yang berdiri megah ini, tak memiliki nama resmi, namun masyarakat mengenalnya sebagai masjid Puang—sebutan yang melekat pada sosok dermawan yang membangunnya.

Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tapi juga simbol perubahan dari praktik kesyirikan menuju tauhid yang murni. Dari kisah sederhana seorang juragan kopi berusia 70 tahun, lahirlah inspirasi besar tentang keikhlasan, iman, dan pengabdian kepada Allah.

Awal Mula Berdirinya Masjid di Tengah Kebun Kopi

Masjid ini dibangun pada tahun 2012 berdasarkan izin mendirikan bangunan (IMB) yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Gowa. Dengan ukuran sekitar 8 x 10 meter, masjid tersebut berdiri kokoh di atas lahan seluas 5 hektare yang dulunya hanyalah hamparan kebun kopi dan semak belukar.

Menurut penuturan Muslimin, Camat Bontolempangan, masjid itu dibangun oleh seorang juragan kopi yang akrab disapa Puang. Ia mendirikan masjid tersebut bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan sebagai tempat beribadah bagi para pekerja kebun kopi miliknya dan juga warga sekitar.

“Puang yang bangun itu masjid. Dia sesekali datang untuk melihat langsung kondisi masjid,” ungkap Muslimin, dikutip dari Kompas.

Bagi warga setempat, sosok Puang dikenal bukan hanya karena kekayaannya, tetapi karena kebaikan hatinya. Ia sering datang ke kebunnya, berbincang dengan para pekerja, dan tak jarang ikut menunaikan salat Jumat bersama warga.

Misi Spiritual: Menghapus Kesyirikan di Tanah Keramat

Namun ternyata, pembangunan masjid ini menyimpan kisah spiritual yang jauh lebih dalam. Puang mengaku bahwa niat membangun masjid berawal dari kegelisahan hatinya melihat kebiasaan sebagian warga yang masih mempercayai hal-hal mistis.

Sebelum berdiri masjid megah itu, di lahan tersebut terdapat sebuah batu besar yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar. Warga sering datang membawa sesajen, berdoa, dan memohon berkah pada batu tersebut.

“Dulu di sini ada batu besar yang dianggap sakral. Banyak orang datang, memberi sesajen, bahkan bernazar di situ,” kenang Puang.

Saat menunaikan ibadah haji bersama istrinya di Tanah Suci, Puang memohon petunjuk kepada Allah. Ia ingin menghapus segala bentuk kemusyrikan di tanahnya dan menggantinya dengan tempat ibadah yang mengingatkan manusia hanya kepada Sang Pencipta.

“Saya berdoa di depan Ka’bah agar diberi petunjuk. Setelah pulang, saya tergerak membangun masjid di atas batu itu. Masjidnya saya buat hampir mirip dengan masjid di Timur Tengah,” tuturnya.

Keputusan itu menjadi titik balik besar. Sejak masjid berdiri, tradisi sesajen dan keyakinan terhadap tempat keramat perlahan menghilang.

“Alhamdulillah, perbuatan musyrik warga telah hilang sejak masjid itu dibangun,” tambah Puang dengan mata berkaca-kaca.

 

Simbol Tauhid di Tengah Alam

Kini, masjid tersebut bukan hanya tempat salat, tapi juga simbol tauhid di tengah alam. Dindingnya berdiri kokoh di antara pepohonan kopi yang rimbun, menandakan bahwa keimanan bisa tumbuh di mana saja—bahkan di tengah sunyinya kebun yang jauh dari keramaian.

Setiap kali azan berkumandang, gema suci itu menggema di kaki Gunung Lompobattang, menyapa para petani dan pekerja kebun. Mereka berhenti sejenak, meletakkan cangkul dan keranjang kopi, lalu berjalan menuju masjid kecil yang menjadi pusat spiritual mereka.

Masjid ini juga memiliki nilai simbolik yang kuat. Batu yang dulunya disembah, kini menjadi pondasi tempat sujud kepada Allah. Dari tempat yang dulu mengundang kesyirikan, kini lahirlah cahaya tauhid.

Kedermawanan Sang Juragan Kopi

Warga setempat mengenang Puang bukan hanya sebagai pendiri masjid, tapi juga sebagai sosok yang sangat dermawan. Ia dikenal sering berbagi kepada warga tanpa pandang bulu.

“Puang itu orangnya baik. Kalau beliau datang, biasanya salat Jumat di sini, dan seluruh jamaah diberi amplop,” cerita Nurdin, warga Dusun Langkoa dengan senyum.

Tindakan kecil itu menjadi bukti nyata bahwa kekayaan bisa menjadi sarana ibadah, bukan sumber kesombongan. Dalam setiap kunjungannya, Puang tak hanya membawa harta, tapi juga membawa ketenangan dan teladan bagi warga.

Masjid yang Viral dan Ramai Dikunjungi

Sejak kisah masjid ini beredar di media sosial, banyak orang dari luar daerah datang berkunjung. Mereka penasaran ingin melihat langsung keindahan dan ketenangan yang memancar dari masjid di tengah kebun kopi ini.

“Masjid itu sudah lama, kalau tidak salah dibangun sekitar lima tahun lalu,” ujar Andi Hidayatullah, salah satu pengunjung yang pernah datang ke sana.

Lokasinya memang tersembunyi, berada di kaki Gunung Lompobattang, dengan akses jalan yang dulunya sulit dilalui. Namun kini, jalannya sudah lebih baik, sehingga wisatawan bisa mencapai lokasi dengan lebih mudah.

“Dulu harus pakai pemandu karena jalannya susah. Sekarang sudah lebih bagus, seperti di video-video yang viral itu,” tambah Andi.

Keberadaan masjid ini kini tidak hanya menjadi pusat ibadah, tapi juga magnet wisata religi. Banyak yang datang bukan sekadar untuk berfoto, tapi juga untuk merasakan ketenangan spiritual di antara rimbunnya pohon kopi.

Makna dan Pesan yang Menginspirasi

Masjid tanpa nama ini adalah pengingat bahwa iman sejati bisa tumbuh dari niat yang tulus. Dari seorang petani kopi yang tak ingin melihat masyarakatnya terjebak dalam kesyirikan, lahir sebuah tempat suci yang mengajarkan keteguhan tauhid.

Pesannya sederhana namun dalam: iman tidak butuh kemegahan, tetapi ketulusan hati.

Dari lahan yang dulunya diselimuti mitos, kini terpancar cahaya ibadah dan pengharapan. Masjid ini menjadi bukti bahwa satu tindakan kecil yang dilandasi niat suci dapat mengubah cara berpikir seluruh masyarakat.

Penutup: Warisan Iman di Tengah Kebun Kopi

Kini, setiap kali azan berkumandang di kaki Gunung Lompobattang, gema suaranya seolah menjadi saksi perubahan besar itu. Dari tanah yang dulu dianggap keramat, kini mengalun pujian kepada Allah.

Puang mungkin hanya seorang juragan kopi, namun warisannya jauh melampaui kebun yang ia tanam. Ia telah menanam benih tauhid yang akan terus tumbuh, mengakar, dan memberi keteduhan bagi generasi setelahnya.

Masjid tanpa nama ini mengajarkan kita satu hal penting: bahwa iman sejati tidak butuh panggung, cukup bukti nyata.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button