Almaz Fried Chicken Gowa: Ayam Goreng Rasa Saudi & Semangat Berbagi
Almaz Fried Chicken Gowa – Saya masih ingat betul ketika pertama kali melewati Jalan Hertasning beberapa hari lalu. Jalan itu memang terkenal ramai, apalagi di perbatasan Makassar-Gowa, di mana bisnis kuliner berjejer rapat—mulai dari Mie Gacoan, KFC, sampai Cangkuning Seafood. Tapi hari itu, ada satu tempat baru yang bikin penasaran: Almaz Fried Chicken.
Bukan cuma karena bannernya yang mencolok atau karena orang-orang berbaris panjang di depan outletnya, tapi karena suasana di sekitarnya terasa berbeda. Ada semangat yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Jadi, ya, akhirnya saya pun mampir. Dan ternyata, kunjungan itu membuka pandangan saya tentang bisnis kuliner yang bukan sekadar soal makan enak.
Dari Karebosi ke Hertasning: Cerita Tentang Antrean dan Peluang
Ternyata outlet di Jl. Tun Abdul Razak Gowa yang berseberangan dengan Citraland dan terletak sebelum Mie Gacoan Gowa ini adalah cabang ketiga Almaz Fried Chicken, setelah sebelumnya mereka buka di Karebosi dan Jalan Dr. Ratulangi. Yang bikin menarik, kata orang-orang di sana, dua cabang sebelumnya itu selalu ramai. Bahkan ada yang cerita antre bisa sampai ke parkiran, saking penuhnya.
Saya berpikir, ternyata bukan cuma saya yang penasaran. Rupanya banyak warga Makassar dan Gowa yang merasa Almaz itu beda. Bukan cuma soal rasa ayamnya yang gurih, tapi juga suasana dan nilai yang mereka bawa. Ada harapan, ada rasa ingin tahu, dan ada rasa keterlibatan yang jarang kutemukan di resto cepat saji lainnya.
Ketika Fried Chicken Jadi Jalan Menuju Kebaikan
Sambil makan, saya sempatkan ngobrol dengan salah satu stafnya. Ia cerita bahwa lima persen dari omzet penjualan Almaz langsung disisihkan untuk sedekah. Mulai dari pembagian beras, bantuan ke pesantren, sampai pembangunan masjid. Bahkan, sebagian hasil keuntungan mereka dikirimkan untuk mendukung saudara-saudara kita di Palestina.
Alhamdulillah, saat kita beli ayam goreng, tanpa sadar kita juga sedang membantu orang lain. Rasanya jadi beda. Saya merasa seperti sedang ikut dalam gerakan kecil yang bermakna besar. Ternyata, di balik menu yang sederhana, Almaz membawa semangat yang luar biasa.
Ayam Goreng dengan Sentuhan Timur Tengah
Saat makanannya datang, saya baru benar-benar paham kenapa tempat ini ramai. Bukan cuma karena konsep sosialnya, tapi juga karena rasa ayam gorengnya yang nggak biasa. Ayamnya renyah di luar, tapi juicy di dalam, dan ada aroma rempah yang mengingatkanku pada masakan Arab.
Uniknya, di Almaz kita bisa pilih nasi putih atau nasi kebuli sebagai pendamping ayam. Saya pilih nasi kebuli—karena kapan lagi makan fried chicken dengan nasi khas Timur Tengah? Eh, ternyata cocok banget! Belum lagi minuman yang disediakan juga unik, seperti Saudia Chocomilk, Saudia Date Milk, dan kopi khas Arab yang mereka sebut Qahwa Almaz.
Jujur, ini adalah pengalaman makan yang tidak biasa. Kayak gabungan antara fast food dan cita rasa rumahan khas Saudi.
Lebih dari Sekadar Usaha Kuliner
Dalam perbincangan kecil dengan salah satu pengelola outlet, saya mendengar cerita soal sang pendiri, Okta Wirawan. Katanya, beliau melihat bahwa orang Indonesia memang doyan ayam goreng—nggak ada matinya. Tapi beliau nggak mau ikut-ikutan begitu saja. Ia ingin membangun usaha yang juga jadi jalan kebaikan.
View this post on Instagram
Makanya, Almaz dirancang bukan hanya untuk untung, tapi juga untuk membuka lapangan kerja dan mendukung ekonomi lokal. Setiap outlet katanya mempekerjakan 20 sampai 25 orang. Bayangin aja, kalau target mereka di Makassar ada delapan outlet, berarti sekitar 200 orang bisa punya pekerjaan baru. Belum termasuk efek berantai ke pemasok bahan baku, logistik, dan UMKM pendukung lainnya.
Saya jadi sadar, bisnis seperti ini bukan cuma soal modal besar, tapi soal visi. Bagaimana satu ide sederhana—jualan ayam goreng—bisa berdampak luas kalau dijalankan dengan hati.
BACA JUGA: Konro Bakar Legendaris di Gowa: Halalan Thoyyiban yang Bikin Ketagihan
Persaingan? Justru Jadi Petunjuk!
Kalau dilihat dari lokasinya, Almaz Hertasning memang berada di zona panas kuliner cepat saji. Di satu sisi ada McD dan KFC, di sisi lain ada Burger King dan restoran seafood. Tapi uniknya, pihak Almaz justru menganggap ini sebagai peluang.
Katanya, kalau di satu wilayah banyak resto ayam goreng dan semuanya ramai, itu tandanya selera masyarakat memang ke arah sana. Jadi mereka tinggal masuk dengan pembeda—rasa khas, harga terjangkau, dan konsep berbagi.
Saya suka cara pikir seperti ini. Bukan melihat persaingan sebagai ancaman, tapi sebagai tanda bahwa pasar itu hidup.
Almaz dan Harapan yang Tumbuh Bersama
Sepulang dari Almaz hari itu, rasanya tidak cuma kenyang, tapi juga hangat. Ada semacam rasa bangga bisa ikut mendukung gerakan kecil yang berdampak besar. Buatku, Almaz Fried Chicken bukan cuma tempat makan, tapi tempat di mana kebaikan dan rasa bisa berjalan beriringan.
Saya belum tahu berapa banyak orang yang akan tersentuh dengan konsep seperti ini. Tapi yang jelas, Almaz sudah membuktikan kalau bisnis itu bisa ramah, peduli, dan tetap menguntungkan.
Dan buat saya, itu adalah kisah yang layak untuk diceritakan ulang.
Kesimpulan: Resto Cepat Saji dengan Jiwa dan Rasa
Di tengah gempuran resto cepat saji yang menjual kecepatan dan kepraktisan, Almaz Fried Chicken muncul membawa semangat baru. Di sini, kita nggak cuma sekadar beli makan—kita diajak untuk ikut serta dalam gerakan sosial, merasakan budaya lain lewat kuliner, dan melihat bahwa bisnis pun bisa jadi ladang pahala.
Buat kamu yang belum pernah coba, saya sarankan datang dan rasakan sendiri. Bukan cuma karena enaknya ayam, tapi karena di balik setiap suapan, ada makna yang jauh lebih dalam.



